Saturday, April 29, 2006

Nyasar di Singapur...eh Singapura...eh Singapore...!

Minggu kemarin istri saya baru pulang dari Singapura. Dapat bonus darimitra kantornya, jalan-jalan ke luar negeri gratis. Biasa, namanya juga ibu-ibu ya tujuannya blanja-blanji gitu. Jadi inget sewaktu saya ke negeri kecil di ujung semenanjung itu tahun lalu. Begene neh kisahnya, bikin malu aja... :

Day 1:
  • Landing di Changi Int'l Airport. Komentars: Wuih, canggih rek. Shopisticated kata orang Jawa bilang! Jauh bila dibandingkan Soekarno-Hatta.
  • Naik taksi ke Hotel : Gak ada calo taksi! Saya bilang tujuannya ke Rendezvous Hotel di Bras Basah road. Sopirnya gak mudeng lantaran saya ucapkan 'Rendezvous' dengan ejaan Perancis yang baik dan benar, setelah saya bilang rendezvous dengan ucapan cara melayu (rendesfus) baru mudeng. Taksinya teratur. Bersih! Kalau kelewat ngebut sedikit taksinya bunyi; klinong..klinong..klinong..persis kayak bel andong di Jogja. Rupanya itu tanda warning 'speed limit exceeded'. Kalau di Indonesia tanda kendaraan yang melebihi batas kecepatan adalah nyungsep karena gak bisa ngerem lagi!
  • Sampai di Rendezvous Hotel. Hotel bagus, di tengah pusat bisnis. Karena hari sudah agak malam, terus mandi dan makan malam.
  • Makan malam. Diwanti-wanti temen agar cari Halal Food! Agak susah juga. Patokan saya, kalau ada yang berjilbab makan di situ, saya ikut makan disitu juga.
  • Cari sedikit cemilan dan oleh-oleh, serta cari telpon umum. Ya dapetnya dikit wong sudah malem. Mal-mal sudah pada nutup pintu. Habis makan malem cari telpon umum karena istri minta ditelpon. Nomor GSM dari tanah air gak fungsi. Sebelumnya disarankan temen beli Simpati Hoki, minimal bisa SMS. Eh, lupa diaktifkan dulu di Jakarta. Jadinya hanya bisa terima SMS tanpa bisa ngirim.
Day 2:
  • Sarapan pagi. Sarapan pagi di executive lounge, menunya ala barat semua. Yang bisa diterima lidah cuman kopi, roti, sebangsa muffin, lengkap dengan selai Arnot. Dah, itu aja. Makanan yang lain gak disentuh karena mengikuti pepatah 'tak kenal maka tak kenyang'.
  • Temen kurang ajar. Kami berangkat dari Jakarta bertiga. Saya, Fanny dan si Ion. Si Ion ini orangnya rada resek, maklum orang kaya yang lama tinggal di US, mungkin mewarisi sifat individualis, egois dan sok gak butuh orang lain (padahal butuh banget!). Celakanya yang tahu lokasi kantor mitra kami cuman Ion, dan dia memang ditunjuk mendampingi kami untuk masalah kelancaran komunikasi dan penunjuk jalan. Kami ketuk pintunya, di bel sampai digedor, gak ada jawaban, padahal kami mau ajak sarapan bareng. Pulang sarapan Ion masih juga gak bisa dihubungi.
  • Berangkat ke meeting di kantor mitra. Udah lama ditunggu, coba ditelpon ke kamarnya, digedor dan sebagainya masih gak ada jawaban nih orang. Padahal jadwal meeting dah dekat, tinggal sejam lagi kami harus sudah sampai di kantornya mitra. Kami tunggu di lobby hampir satu jam, Ion gak nongol juga. Kami khawatir tuh anak gak bisa bangun pagi.
  • Minta tolong manajer hotel geledah kamar Ion. Setelah 1 jam nunggu, kejengkelan kami memuncak. Saya minta tulung manajer hotel buka kamar Ion; "I'm affraid something happened to him!" kata saya ke manajer hotel, yang dijawab dengan muka geli. Setelah dibuka, ya bener aja. Orangnya sudah raib! gak ada di kamar. Sontoloyo nih anak. Pasti dia ninggalin kita deh. Wah minta digebukin tuh anak, mana kita gak tau lokasi kantor mitranya lagi.
  • Lingkaran setan! Tanya ke orang hotel, gak ada yang tahu dimana letak kantor yang hendak kami tuju. Akhirnya kami jalan kaki dulu ke telepon umum yang lumayan jauhnya, telpon ke Jakarta nanya dimana lokasi kantor yang harus kami tuju. Dapat alamatnya! Pas mau jalan lagi, hujan deres datang. Nggak mau tambah telat, kami naik taksi, sambil nyebutin alamat yang dituju. Celakanya supirnya gak tahu alamatnya, jadi main cari-carian. Setelah beberapa lama tidak ketemu, mungkin tukang taksinya kasihan, dia membantu kami menelpon orang di kantor yang dituju pakai HP-nya dia (HP kami nggak berfungsi di negeri orang). Setelah dipandu, akhirnya ketemu kantor yang dituju. Dan lokasinya adalah, tepat di belakang hotel tempat kami menginap! Memang kantor itu menempati gedung yang menyatu sama restoran dan toko di bawahnya, jadi orang-orang yang nggak tahu mengira itu gedung restoran, mal/plaza atau hotel, wong nama gedungnya aja Plaza by the Park!
  • Ion sudah nongkrong di ruang meeting dari tadi. Kami disambut mitra kami yang geleng-geleng kepala (nggak tahu heran, kasihan atau kesel!). Dia bilang si Ion sudah dari tadi di ruang meeting. Berarti dari tadi dia ninggalin kita. Beneran deh, orang egois itu ada di dunia ini. Kalau bukan di negeri orang, "sudah gua kerjain tuh anak!"
  • Lunch Time. Orang di situ baik-baik sekali. Karena saya muslim, mereka berusaha mencari restoran yang halal. Dapet. Di dekat kantor ada restoran kecik sedia makanan halal, Hanny's Cafe namanya. Waktu kami sibuk menebak-nebak soal arti menu yang tersedia, penjualnya langsung bilang,"Kamu makan menu ini saja, enak lho! Sudah lengkap pakai nasi. Baru promosi!" Oo, yang jual orang Indonesia juga!
  • Shalat duhur. Pulang makan siang saya ijin mau balik ke hotel dulu (kali ini jalan kaki saja, nggak naik taksi), mau shalat dhuhur, sebab jam sudah menunjukkan pukul 12 lebih dikit waktu Singapura. Setelah shalat, balik ke kantor, meeting lagi.
  • Meeting sesi 2. Penyakit kuli mulai kumat, yaitu, setelah makan, kenyang, terus ngantuk deh! Kebanyakan nguap, ditawari minum, disuruh milih, yang saya denger begini nih, "Du yu won blak kofii, espreso or mailo?" Blak kofi sama espreso sih saya tahu, tapi mailo saya belum ngeh, sehingga saya pilih blak kofi. Pait pait deh, daripada bingung! Belakangan baru saya tahu yang dimaksud mailo itu ya 'MILO' minuman sehat berenergi itu lho. Habis, di Jakarta kebiasaan dibacanya milo doang, bukan mailo sih!
  • Thanks to POP Mie. Dikasih PR mereview kerjaan orang Singapore, banyak. Malam-malam kelaperan, untung inget bawa POP Mie. Lumayan buat ganjel perut.
Day 3:
  • Masih ada yang kocak di hari ketiga, tapi saya sudah ngantuk. Disambung besok deh, saya ngantuk!

Tuesday, April 18, 2006

Bau kencur…!

“Wah, kamu ini masih anak bau kencur kok minta kawin. Sekolah dulu yang bener, nanti kalau sudah jadi sarjana, baru kamu kawin. Lagian kamu anak masih ingusan kok sudah pacaran 10 kali, bapak saja yang sudah setua ini baru 9 kali” kata pak Gono pada Timbul, anaknya yang baru lulus SMP.

Bau kencur. Sebenarnya pada tau nggak artinya bau kencur? Istilah bau kencur itu digunakan untuk menegaskan bahwa si orang yang dijuluki bau kencur tadi masih sangat kecil, belum dewasa. Asal istilah ini mungkin berasal dari tradisi masyarakat Indonesia yang waktu jaman baheula dulu menggunakan kencur sebagai media obat gosok penghangat badan untuk bayi (ya mirip-mirip fungsinya minyak kayu putih gitu lah…!), untuk menjaga badan bayi tetap hangat. Jadi bayi-bayi masa lalu rata-rata bau kencur karena diborehkan kencur di badannya. Jadi, anak bau kencur identik dengan anak bayi, masih kecil!

Kalau istilah bau kencur bisa ditelusuri asal muasalnya, untuk istilah ‘bau tanah’, saya kok masih belum ngerti kenapa istilah itu digunakan untuk menjuluki orang tua yang umurnya diperkirakan sebentar lagi ‘pulang kampung’ ke hadirat-Nya. Tapi kalau saya ingat-ingat baunya nenek saya dulu, sama sekali tidak berbau tanah, malahan bau kapur barus serta obat gosok dan hidung mampet cap Dragon (trend nenek-nenek jaman dulu pasti sering bawa-bawa obat hidung mampet batangan dalam kemasan hitam bertuliskan keemasan ‘Cap Dragon’).

Lain lagi ceritanya kalau bau ketek dan bau kentut. Itu mah, nggak usah ditelusuri, malah harus cepet-cepet tutup hidung!

Mudik yuuk!

“Mudik yuuk, bentar lagi Lebaran!”

Pada tau nggak darimana kata mudik? Ya bener banget. Jaman dulu di Nusantara ini kota-kota yang berkembang adalah di daerah aliran sungai, dengan pusat kota yang berada di dekat pelabuhan laut, biasanya di muara. Lalu lintas utama adalah melalui sungai. Sungai itu ada hilir ada udik. Kota besar berada di hilir alias ujung sungai dekat laut alias muara karena mempunyai pelabuhan besar yang lebih maju yang terhubung dengan dunia luar. Sedangkan makin ke udik, makin mengarah ke pedalaman dan perkampungan desa yang jauh dari kota besar (semakin ‘ndeso!’).

Dari sinilah timbul istilah orang udik untuk menyebut orang kampung. Jika seseorang yang berada di kota besar mau pulang ke kampung, lalu diistilahkan mau mudik. Kalau kita adalah orang yang merantau ke Jakarta, sedangkan tempat kelahiran kita di New York, sewaktu akan pulang ke sana tetap saja disebut mudik. Padahal New York bukan udik ya!

Dari sini pula dilahirkan istilah hilir mudik untuk menyebut kegiatan ‘wira-wiri’ alias bolak balik dari satu tempat ke tempat lainnya secara kontinyu. Ada yang tau istilah wira-wiri timbulnya bagaimana?